Hari Patah Hati Nasional

Uncategorized

Sebuah pesan sampai pada ponselmu. Ternyata itu foto seorang laki-laki berjas hitam serta wanita berias dengan kebaya putih di sebelahnya. Satu buket bunga digenggam erat-erat oleh wanita itu. Pada sisi kanan dan kiri mereka, terlihat sepasang orang tua tersenyum bahagia. Mereka semua sadar kamera. Memasang pose. Buncah kebanggaan dan keharuan seolah berhamburan pada foto yang hanya bersubjek memanggil namamu. Disertai emoticon tangis campur tawa. Mungkin temanmu itu bermaksud meledekmu. Membangkitkan yang dulu-dulu.

Kekkon omedetou gozaimasu.

Balasmu, kalem.

===

SATU SISI, aku percaya pada hal-hal yang kau tegaskan. Perihal hubungan masa lalu yang kandas dan tak bersisa. Lalu kini tak ada seorang pun kecuali aku. Namun, hey?

Apa perasaanmu bila sang mantan kekasih telah menikah lebih dulu?

Aku sempat ragu untuk menjawab dengan pasti. Aku mencoba mendalami peranmu, dan bertanya-tanya bagaimana perasaanku bila jadi kamu.

Hubungan yang begitu sulit dipertahankan, akhirnya bubar.

Kau yang dulu milikku, kini punya orang.

Adakah dalam dadamu, rasa sesal mengambil langkah? Aku selalu berspekulasi akan kesehatan hatimu. Mungkin saja jalan yang kau pijak kini tak pernah benar ingin kau lewati. Namun karena terlanjur masuk, kau memilih untuk menyempurnakannya dengan rasa terima hingga kita saling mencintai.

Adakah kepingan hati yang jatuh berserakan begitu kau mengetahui pernikahannya?

Aku menduga-duga semakin jauh. Bahwa mungkin kau memang takmau. Aku sempat kembali menjadi masa lalu. Menganggap diri ini pengganggu, hingga kini menjadi batu loncatan. Kau terbang ke langit, dan aku melihatmu dari bumi.

Kau akan selalu begitu, selalu tak penah meng….

NAMUN, HEY??!!

Sebelum jauh-jauh, aku harus membatasi ide-ideku yang tak sudah-sudah. Aku harus ingat-ingat bahwa: rasa pelarian, tak mungkin bertahan hampir dua puluh empat bulan! Permintaan kecil-kecil yang menjengkelkan, tak mungkin dilakukan!

Dan mimpi serta niatan masa depan, tak mungkin dirapal sekaligus diusahakan.

Kau menatapku, penuh masa depan. Jelaga matamu, tak kilas balik bahkan menyesal. Maka dari itu, dengan berani ku yakinkan, bahwa hari itu bukan hari patah hati nasionalmu. Kau takkan pernah sedih. Takkan pernah pilu. Atau macam-macam. Bahkan sebenarnya kamu tidak akan pernah memiliki hari itu. Aku pun tidak. Kita kelak hanya punya hari dimana kita bahagia. Atas janji yang sakral. Pengabdian. Kemuliaan. Itu.

===

Pada lain hari, dengan rasa kaget tak kaget aku mengirimkan gambar ulang wanita itu kepadamu, yang bersubjek: “INI DIA, KAN?? MAKA INI BERITA GEMPARRRR!!”

Tak lama, kamu malah balik meneleponku setelah lebih dari sepuluh pesan yang berkonteks drama picisan ku kirimi.

“Kenapaaa..”

“Ada berita gempaaaarrr.”

“Aku sudah tau kali…”

“Kenapa gak bilaaang??” nadaku sok kecewa.

“Ya faedahnya apaa cobaaa??” kata dia bercanda. Tawanya menular kepadaku.

“Intinya aku turut berduka. Aku akan sebut hari ini adalah hari patah hati nasional jilid satu.” Ucapku.

Kamu tertawa lagi, lebih gamblang, “Idih, ada-ada aja kamu mah,

Aku tertawa geli sambil menutup mulut. “Tidak apa-apa, santai saja. Hari ini kita jalan-jalan untuk menghibur perasaanmu.”

“Tuh, kaan. Kamu selalu membuat fakta baru yang dihubung-hubungkan.. Aku tidak merasa sedih sama sekali, tahu?” katanya. Dengan mudah aku menebak, pasti diujung sana ia sedang cengengesan.

“Terus kamu tahu dari mana emang? Kamu masih stalking dia juga?? Hayoo..”

“Mulai deh…” katanya, “Suudzon terusss. Aku dikirimi gambar sama teman. Kalau yang suka stalking, nenek-nenek pake behel juga tau, kalau orangnya itu ka-muuu..”

Kami tertawa. Aku sebal campur gemas.

“Yaudah-yaudah. Intinya aku akan sebut hari ini hari patah hati nasional jilid satu.” Ledekku.

“Katanya kalau dia udah nikah, kamu udahan kepoinnya…” tanyanya, membuatku kehabisan kata, dan hanya bisa ber diiihhh, diiiihhh, ria.

“Udah ah, Kamu pokoknya yang tabah, ya..”

Ia tak berhenti-hentinya cengengesan, kurasa. Namun sekarang nadanya agak campur sebal.

“Apaaannn sih..??”

“Nggaaak…” aku terkekeh.

Ia ngedumel.

Begitu akhirnya, hingga lima belas menit berlalu. Telepon ku sudahi. Aku mandi, dan bersiap. Menunggu kedatanganmu, di rumahku.

===

Selamat atas pernikahanmu, Mbak.

Semoga menjadi keluarga yang sakinah, mawadah, warohmah.

Bantu doakan agar saya cepat menyusul, ya..

Dengan orang yang memang saya harapkan saat ini hehe..

Salam 🙂

-Di Samping Hujan

 

 

 

 

Leave a comment